Canting – Arswendo Atmowiloto

“Canting, carat tembaga untuk membatik, bagi buruh-buruh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya, canting ditiup dengan nafas dan perasaan. Tapi batik yang dibuat dengan canting kini terbanting, karena munculnya jenis printing – cetak. Kalau proses pembatikan lewat canting memerlukan waktu berbulan-bulan, jenis batik cetak ini cukup beberapa kejap saja.”

Membaca Canting karya Arswendo Atmowiloto ini kita disajikan suatu cerita dengan berlapis pemaknaan, terserah pada kita, mau mengambil makna apa. Boleh jika dibilang bahwa Canting bercerita tentang kehidupan Bapak Raden Ngabehi Sestrokusuma, atau Pak Bei, dengan segala buruh batiknya. Boleh juga jika dibilang cerita ini tentang dinamika kehidupan perempuan Jawa, yang diwakili dengan sangat kental oleh sosok Bu Bei yang tampak kontradiktif sekaligus sangat selaras dengan kehidupan. Atau cerita tentang jalan hidup suatu rumah batik di Solo. Atau tentang budaya Jawa dengan segala kode unggah-ungguh-nya yang rumit. Atau juga tentang drama keluarga Pak Bei, antara anak, menantu, orang tua, dalam lingkup priyayi Jawa. Kesemuanya ada dan disajikan dengan kepiawaian bercerita yang menurut saya sangat tangkas dari si penulis – kaya, detil, realistis, dan hidup. Di akhir membaca buku ini, akhirnya saya memutuskan bahwa Canting adalah tentang mendefinisikan kembali arti suatu budaya, dalam hal ini menjadi ‘Jawa’ atau ‘tidak Jawa’, dan itu adalah suatu pilihan.

Pak Bei di awal tergambar ‘sangat Jawa’, dengan segala tindak dan kebiasaan khas pria Jawa, yang priyayi pula. Lalu sejalan kita mengenal tokoh Pak Bei ini, dan tindakannya di masa lalu, maka kita akan mengerti bahwa Pak Bei telah memutuskan untuk ‘tidak Jawa’ dengan caranya sendiri, melanggar beberapa aturan pakem priyayi, yang semuanya hanya berdasarkan pertimbangan akal sehatnya. Lalu ada Bu Bei, istri Pak Bei yang bekas buruh batik, yang pengabdiannya pada Pak Bei tak tercela, pribadi yang tampak lemah namun sebenarnya sangat kuat, terutama dalam menyatukan seluruh rasa hati agar selalu selaras dengan kehidupan. Sama sekali tidak mudah, bagi perempuan kini kebanyakan, tapi itu adalah lakon yang dipilih untuk dijalaninya dengan segenap filosofi kerelaan dan pengabdian, sehingga tampak wajar dan mengalir saja bagi perempuan seperti Bu Bei. Kemudian ada Ni, anak bungsu keluarga itu, yang lahir dengan latar belakang yang sedikit berbeda dengan kakak-kakaknya yang lain, yang memberinya watak yang lebih lugas, langsung dan tidak berjarak dengan orang lain. Ni adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang ‘berani untuk tidak Jawa’.

Canting untuk membatik

Canting adalah simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Dalam budaya, ada hal-hal yang mungkin sudah ‘tidak cocok’ lagi, dimana perubahan jaman menuntut cara berpikir dan bertindak yang berbeda. Tidak perlu mencela atau tidak menghargai, hanya perlu menempatkannya pada porsinya yang baru, untuk bertahan. Sama seperti canting, perannya perlu diredefinisikan, diberi arti baru. Sama seperti Pak Bei, yang berani meredefinisikan arti priyayi. Atau Ni yang berani untuk menjadi ‘aeng’, menjadi berbeda, aneh, tapi diperlukan untuk bertahan. Canting dan industri batik dengan segenap jajarannya yang merupakan bagian dari warisan budaya, akhirnya diselamatkan, tidak oleh orang-orang yang bersikukuh pada pakem tradisi itu sendiri, tapi justru oleh mereka yang berani keluar dan berbeda.

Aeng itu tidak apa-apa. Tidak mengurangi nilai. Kesalahan kita, atau generasi saya, ialah menganggap segalanya telah sempurna dan komplet serta selesai. Jadi tidak ada tempat yang aeng.

Buku yang sarat makna dan pemenungan, sekaligus lincah dalam plot dan kuat dalam karakter. Budaya Jawa terpotret dengan sangat apik dan hidup, layaknya menyaksikan panggung teater. Highly recommended!

Buku ini dibaca sebagai bagian dari Sastra Indonesia Reading Challenge 2012.

Detil buku: Canting/ Arswendo Atmowiloto/ Gramedia Pustaka Utama/ 2007 (1986)/ Novel/ 406 hlm.

6 thoughts on “Canting – Arswendo Atmowiloto

  1. “bahwa Canting adalah tentang mendefinisikan kembali arti suatu budaya, dalam hal ini menjadi ‘Jawa’ atau ‘tidak Jawa’, dan itu adalah suatu pilihan.”

    apakah hal tersebut akan berlaku pada suku-suku lainnya, dimana menjadi orang atau suku tertentu itu adalah sebuah pilihan? 😀

    1. mademelani

      sama aja Bang Helvry, di (suku) manapun kita ttp punya pilihan mau menjadi seperti yg bgm, tentu dgn segala resikonya. eg terlahir sbg bali, pilihan kita mau jadi bali yg ‘ajeg’ atau bali yg ‘lain’. definisi ‘ajeg’ spt apa pun tidak pernah diam dan berhenti, selalu ada perdebatan dan menyisakan ruang diskusi.

      bagi mereka yg lahir dalam tradisi yg tidak terlalu ketat, mungkin persoalan ini tidak terlalu nyata ya. 🙂

  2. arswendo

    tambahan informasi : Canting akan dipentaskan dalam bentuk musikal di Singapura, Oktober ini, dalam bahasa Inggris, oleh mahasiswi-wa Indonesia yang berlajar di sana.

    1. mademelani

      Mas Arswendo! terima kasih sudah mampir di sini.. 🙂
      wah… salut! dan selamat atas kegiatan dan prestasinya! andai saya bisa datang dan ikut melihat pentas itu.. apakah ada rencana pementasan di Indonesia?

  3. arswendo

    saya senang dengan komunitas begini. Cuma memang tak tahu cara masuknya, hehehe. Saya sudah baca adaptasi mereka yang berjarak dengan waktu dan tempat. Sebagai usaha bagus, menarik. Kadang waktu menulis saya nggak ngebayang apa-apa. Di Solo ada komunitas Canting yang napak tilas lokasi tempat cerita itu.
    BTW, akhir Oktober ini ada Borobudur writers, festival penulis buku silat se Nusantara.
    salam
    a

    1. mademelani

      justru itulah kekuatan buku ini, Mas Arswendo, ketika ditulis tidak terpikir sejauh yg sebenarnya bisa dibawa oleh buku ini. Mnrt saya buku ‘kecil’ ini memang kaya, bisa diinterpretasi dalam berbagai lapis. dan tetap layak dibaca walau sudah bertahun2.
      Wah belum tahu ttg Borobudur festival. se-Nusantara! hebat! terima kasih infonya! Oktober memang penuh dgn festival literasi tampaknya (ada Ubud readers and writers festival 3-7 Okt, dan di kota saya, Balikpapan, akan ada semacam pekan buku dan literasi).

Leave a comment