Haloo..
Setelah sekian lama absen dari blogging dan blog ini ‘nganggur’ berbulan-bulan, kini saya kembali lagi.. Saya awali dengan membagi cerita tentang buku terbaik yang saya baca di tahun 2013.
Kegiatan membaca sebenarnya tetap berjalan seperti biasa, malah saya sempat ‘mencicipi’ genre yang saya jarang sentuh dan membaca beberapa buku dari pengarang yang kali itu karyanya pertama kali saya baca. Melepaskan diri dari beberapa ‘rencana baca’ dan membiarkan diri mengalir mengikut ‘mood baca’ (dalam arti membaca apa dan kapan), ternyata membawa saya pada penemuan-penemuan menarik. Ibarat melakukan sebuah perjalanan, melakukan pengembaraan atau flâner membuat kita mengobservasi dan menyerap lebih banyak hal sepanjang perjalanan itu, dibanding melakukan perjalanan yang berfokus pada destinasi. Rencana baca semula memang jadi agak porak poranda, namun kenikmatan membaca ternyata lebih saya rasakan. Karena tidak memperdulikan target baca, saya jadi lebih ‘bebas’, menemukan banyak hal kecil yang biasanya saya lewatkan, dan banyak bagian buku saya temukan begitu ‘memorable’. Saya juga membaca lebih tanpa ekspektasi tertentu, saya ingin menemukan buku itu apa adanya, dan berkenalan dengan apa yang sebenarnya penulis ingin sampaikan melalui karyanya itu. Sejumlah buku-buku itu akhirnya menjadi buku yang saya golongkan sebagai buku terbaik 2013. Berikut ulasan singkatnya.
1. La Gloire de Mon Père – Marcel Pagnol. The Glory of my Father. Sebuah novel autobiografis dari penulis, playwright dan cinematographer Perancis. Tentang kehidupan masa kanak-kanak penulis, saat papa, maman dan keluarga terdekat adalah dunia terintim si tokoh. Di musim panas, seperti biasa, mereka pergi berlibur ke pedesaan Provence, menginap di sebuah villa tua. Marcel kecil sangat ingin ikut pergi berburu burung bersama papa dan pamannya, namun tentu saja tidak diperbolehkan. Dengan suatu cara akhirnya ia berhasil mengikuti kedua orang dewasa itu pergi ke hutan, yang akhirnya membuatnya mengalami petualangan mendebarkan, pengenalan pada alam dan dirinya sendiri. Ditulis dengan bahasa yang sophisticated, menghadirkan alam Provence Perancis yang khas saat musim panas, kehangatan keluarga ‘jaman dulu’ yang begitu sederhana. Menyentuh sekaligus komikal. Terbit pertama kali tahun 1957. Ilustrasi keren oleh Sempé .
2. L’Amant – Marguerite Duras. The Lover. Tentang kenangan kehidupan seorang gadis remaja Perancis di Saigon, di masa sisa-sisa pendudukan Perancis di Vietnam. Si tokoh lalu memiliki seorang ‘kekasih’, seorang pria Vietnam, yang dengannya hubungan mereka berjalan dengan tidak banyak kata-kata, mengalir begitu saja, tanpa bentuk, namun sangat membekas bagi keduanya. Tema cerita lebih pada perasaan keterasingan. Ditulis dalam bahasa yang sederhana, membacanya seperti sedang mendengarkan kisah kenangan yang disampaikan penulis, tidak terlalu berstruktur, maju-mundur di masa sekarang dan masa lalu, tidak melulu berada dalam plot tertentu, tapi lebih pada eksplorasi pikiran dan perasaan si tokoh. Saya membaca kisah ini tanpa terlalu memperdulikan ada atau tidak plot, saya ikuti saja kemana pengisahan itu berjalan, menikmatinya, dan membuat saya jadi merasa demikian intim dengan pikiran dan perasaan sang tokoh. Akhir kisah sangat membekas. Beautiful and profound. L’Amant memenangkan le prix Goncourt tahun 1984.
3. Anna Karenina – Leo Tolstoy. Membaca versi lengkapnya membuat saya mengerti mengapa buku ini begitu banyak dibicarakan dan bahkan dianggap sebagai the best novel ever written oleh sebagian kalangan. Anna Karenina ternyata berbeda dari anggapan saya sebelumnya tentang buku karya Tolstoy ini. Anna sendiri, walau dijadikan judul, tidak menjadi tokoh paling utama di kisah ini, bahkan tidak menjadi tokoh protagonis. Ia bukan heroine, malah mewakili suatu tokoh yang penuh kegagalan dan self-destruction, walaupun dalam banyak sisi hidupnya dilimpahi kemudahan dan keberuntungan. Tokoh ‘sampingan’ yang justru menjadi focal point dari buku ini, dimana banyak kritik mengatakan bahwa tokoh ini merupakan self-portrait dari Tolstoy sendiri, adalah tokoh Levin, yang berasal dari latar belakang yang begitu berbeda dari Anna dan sepanjang tahap hidupnya berjuang mencari makna hidup. Buku ini, buat saya, secara sederhana menyodorkan pertanyaan: “What does it take to be truly happy?”. Saya rekomendasikan untuk membaca versi lengkapnya, supaya kita tidak hanya berkutat pada kisah ‘romance’ Anna, tetapi juga tokoh-tokoh lain dan pendalaman situasi sekitar yang begitu kaya digambarkan. Buku terbitan Penguin Classics ini diterjemahkan dari bahasa Rusia ke bahasa Inggris dengan sangat baik oleh Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky, dua penerjemah yang memenangkan award khusus untuk penerjemahan sastra Rusia ke Bahasa Inggris.
4. Dog Stories – James Herriot. Saya sangat mudah jatuh hati pada kisah-kisah yang berhubungan dengan anjing. Dan disini, James Herriot kembali menunjukkan kepekaannya dalam mengobservasi kejadian dan perasaan dan menuangkannya dalam tulisan, sehingga kisah-kisah ini menjadi kisah yang begitu membekas. Buku ini berisi berbagai kisah pengalaman sang dokter hewan dari daerah pedesaan Yorkshire yang permai ini, berkaitan dengan penanganan anjing yang menjadi pasiennya, maupun pasien jenis lain dimana seekor anjing menyertai perjalanan pasien itu. Dalam tulisan Herriot, anjing-anjing ini jadi begitu ‘manusiawi’.
5. All That is Gone – Pramoedya Ananta Toer. Adalah buku kumpulan cerita pendek, yang diambil dari dua buku kumpulan cerita pendek Cerita dari Blora (terbit 1952) dan Subuh (1951). Pram disini menghadirkan cerita-cerita semi-autobiografis dengan muatan emosi yang kuat, twist yang kadang tidak terduga, dan elemen kenangan yang kental. Beberapa dari cerita itu begitu membuka mata saya akan situasi pasca kemerdekaan, terutama pada kehidupan ‘orang-orang biasa’ yang kehidupannya terpengaruh oleh masa revolusi itu. Pram disini membuktikan kepiawaiannya dalam menghadirkan cerita dengan karakter yang kuat dan plot yang penuh dalam ruang sempit bernama cerita pendek. Lebih jauh tentang All That is Gone bisa dibaca di sini.
6. Rahasia Selma – Linda Christanty. Buku ini adalah pengalaman pertama saya membaca karya Linda Christanty. Cerita-cerita Linda berlatar cukup sederhana dan sehari-hari, namun di akhir cerita selalu menghadirkan sesuatu yang begitu tak terduga yang kadang memporak-porandakan pemahaman awal kita tentang cerita itu, yang ternyata bisa bermakna dalam dan historis. Sama seperti Pram, saya begitu kagum pada keahlian Linda dalam menghadirkan karakter yang kuat dan cerita yang begitu membekas dalam ruang pendek bernama cerpen. Buku tipis ini membuat saya ingin membaca karya-karya Linda lainnya.
7. Ring of Fire, an Indonesian Odyssey – Lawrence Blair dan Lorne Blair. Buku ini adalah memoar dan catatan perjalanan dari kakak beradik Blair yang mengarungi lautan dan menjelajah beberapa pulau di Indonesia dalam rangka membuat film dokumenter, di awal tahun 70-an. Sarat dengan komentar dan analisis mengenai kondisi lingkungan, biologis, maupun elemen antropologis, buku ini menjadi begitu kaya dan mengasyikkan dibaca. Belum lagi tempat-tempat yang dijelajahi Blair adalah laut dan pedalaman pulau yang jauh dan ‘terasing’, yang oleh kebanyakan orang Indonesia saat ini pun masih belum banyak terjelajahi, seperti kepulauan rempah Maluku, pedalaman Papua, perairan Komodo, laut Aru, dan beberapa tempat lainnya. Blair menulisnya dengan bahasa yang demikian mengalir, serius dan penuh analisa di beberapa aspek, namun selalu penuh humor khas orang Inggris. Buku ini saya beli tahun 2012 silam saat Lawrence Blair hadir di acara Ubud Writers & Readers Festival, dimana ia memutarkan dan mengulas salah satu film dokumenternya tentang pelayarannya menjelajah laut Aru. Indonesia is definitely dangerously beautiful!
8. Hunger – Knut Hamsun. Ya, buku ini mengisahkan tentang lapar, dan bagaimana kondisi fisik berupa perasaan lapar (dan kelaparan) itu begitu mempengaruhi kondisi mental seseorang. Knut menuliskan novel ini sebagai bentuk reaksi atas ‘kekecewaannya’ pada sebagian besar novel kontemporer pada jamannya yang menurutnya terlalu stereotip dalam plot dan miskin dalam karakter. Maka hadirlah ‘Hunger’, yang memang tidak terlalu mengandalkan plot, namun lebih pada eksplorasi ‘interior landscape’ – perasaan, pikiran, harapan, kekecewaan, dunia batin, si tokoh. Si tokoh adalah seorang penulis yang sedang berjuang meraih sukses dengan mengandalkan karyanya, yang imaginasinya menjadi demikian tergerus oleh kondisi lapar berkepanjangan yang ia alami. Novel ini cukup depresif, namun juga membawa hal-hal tak terduga di beberapa bagian akhirnya, dan di penghujung cerita menyajikan suatu ironi yang divisualisasikan dengan ‘indah’. Beautifully tragic. Buku ini membuat saya ingin membaca karya Knut Hamsun lainnya, yaitu Growth of the Soil.
9. Nawung – Galuh Larasati. Ini mungkin termasuk buku “underrated”, dimana tidak banyak orang tahu mengenai keberadaan buku ini, tenggelam dalam hiruk pikuk buku-buku lain, bahkan keberadaannya di toko-toko buku saya lihat sering terpinggirkan. Padahal, buku ini menurut saya menyajikan kualitas penulisan yang prima dengan bahasa yang sangat rapi namun mengalir, dan isi yang sangat baik. Melalui buku Nawung ini, seorang sastrawati baru saja lahir. Ya, buku ini adalah buku pertama Galuh Larasati, mengisahkan tentang seorang anak perempuan bernama Nawung dan perjalanan hidupnya hingga dewasa yang penuh dengan lika-liku kebahagiaan, kesedihan, kebangkitan dan keterpurukan, serta harapan. Yang membuatnya berbeda adalah buku ini sarat dengan nilai-nilai luhur tradisional (tanah Jawa) yang demikian dalam dan universal, yang sering kita lupakan atau remehkan. Setiap paragrafnya menghadirkan potret dan renungan yang sederhana namun membekas. Salah satu ‘wejangan’ yang saya dapat dan yang paling berkesan buat saya adalah tentang memohon sesuatu yang sederhana dan secukupnya dari Tuhan, dan ketika berkah itu telah benar-benar dihadirkan di depan kita, hendaknya kita memeliharanya dengan baik.
10. The Jungle School – Butet Manurung. Sokola Rimba. Buku ini adalah sebuah diari, atau jurnal, dari seorang Butet Manurung, yang bekerja sebagai pendidik di pedalaman hutan Jambi. Dimulai dari masa-masa awal penugasannya sebagai education facilitator bersama organisasi WARSI, hingga didirikannya Sokola Rimba, sekolah khusus untuk anak-anak suku asli di hutan Jambi. Tulisannya sederhana, namun tajam dalam observasi dan reflektif dalam analisanya. Banyak insight yang saya dapat dari membaca diari ini, bukan melulu mengenai kehidupan suku terasing, tapi lebih pada sikap Butet yang penuh pikiran terbuka dan rendah hati dalam menghadapi orang yang ditemui. Ia tidak mengasumsikan bahwa cara modern adalah pasti lebih baik dan lalu membuat misi menerapkan cara baru itu pada mereka yang dicap sebagai ‘terbelakang’ ini, namun semua diawali dari upaya mengenali kelompok masyarakat itu lebih dalam, dan siapa bilang cara kita sudah pasti lebih baik untuk mereka? Menghargai perbedaan dan kemajemukan. Merambah pola pikir yang berbeda. Pada akhirnya sebenarnya tidaklah terlalu jelas siapa belajar dari siapa. Inspiratif dan sangat membuka wawasan. Butet Manurung hadir dalam Ubud Writers & readers Festival 2012, dan memperkenalkan buku The Jungle School ini ke kalangan nasional dan internasional yang hadir. Versi Bahasa Indonesia hadir setahun kemudian dengan judul Sokola Rimba, terbitan Penerbit Buku Kompas.
11. One Hundred Years of Solitude – Gabriel Garcia Marquez. Seratus Tahun Kesunyian. Bersama buku ini saya menelusuri kehidupan Jose Arcadio Buendia, yang bersama kelompok kecilnya membangun sebuah desa di tengah hutan di Columbia. Cerita bergulir dengan banyak tokoh dalam beberapa generasi, dalam banyak kejadian, dalam bentuk sejarah yang berulang. Banyak yang mengatakan bahwa novel ini mencerminkan perjalanan sejarah Columbia sendiri, tapi jika pun kita tidak ingin mengaitkannya atau memperdulikannya dengan unsur politik, kisah ini bisa sangat mewakili perjalanan kehidupan manusia secara mikro maupun makro, dengan segala kejatuhan dan kejayaannya, yang ujung-ujungnya mengembalikan semuanya ke ‘titik nol’. Unsur magical realisme-nya menurut saya tidak terlalu kental dan pas saja (saya pribadi merasa jauh lebih sulit memahami kisah fantasi), dan perpaduan unsur realis dan surealis itu, ditambah tokoh dan kejadian yang begitu kaya, membius saya masuk ke alam fisik dan pikiran keluarga Buendia, sehingga saat menutup buku ini di akhir cerita, saya seakan membutuhkan waktu untuk ‘kembali ke realitas’.
12. Mencari Emas – Jean-Marie Gustave Le Clézio. Buku ini menarik perhatian saya karena nama Jean-Marie Gustave Le Clézio. Salah satu karya lainnya, L’Africain, sempat saya baca walau tidak selesai, dan saya sangat menyukai gaya penulisannya yang liris dan penuh nuansa kenangan. Buku ini menceritakan tentang Alexis dan keluarganya yang tinggal di Pulau Mauritius. Saat ayahnya mengalami kebangkrutan, Alexis mempunyai mimpi untuk menemukan emas yang ia percaya dikuburkan seorang bajak laut di suatu pulau lain, dan dimulailah perjalanan itu. Seorang pembaca mengatakan bahwa buku ini layaknya sebuah surat cinta Clézio pada laut, dimana penggambaran mengenai laut dibuat demikian hidup dan indah. Saya pun saat membacanya seakan ikut mendengar desir angin laut, melihat warna biru gelap laut terpampang di depan mata, merasakan pasir yang menempel di kulit yang basah, dan meresapi kesunyian yang dihadirkan malam di atas laut. Mungkin gaya penulisannya yang liris turut membawa kita hanyut ke alam cerita. Kisah ini seluruhnya merupakan narasi dari Alexis, dengan sedikit dialog. Bagian kisah dimana Alexis mulai berteman dengan Ouma, seorang gadis suku Manaf, penduduk asli di sana, merupakan bagian indah favorit saya. JMG Le Clézio adalah pemenang nobel kesusastraan pada tahun 2008.
Demikianlah, 12 buku terbaik dari sekian buku yang saya baca sepanjang tahun 2013. Tahun 2014, saya harap saya juga akan menemukan banyak buku bagus yang saya nikmati proses membacanya.
Mei